Aku dan Bian sudah menjalani masa pacaran selama lima tahun.
Masa-masa yang penuh keindahan, dan pasang surut tentunya. Bisa bertahan dalam
suatu jalinan kasih untuk waktu yang cukup lama, membuat kami mantap melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Apalagi keluarga kedua belah pihak juga sudah saling mengenal dan menyetujui
hubungan kami. Dan akhirnya, seminggu yang lalu status pacaran kami meningkat
menjadi bertunangan, setelah keluarga Bian melamar ku. Disepakati kalau
pernikahan kami akan dilangsungkan sepuluh bulan ke depan. Akhirnya...tidak lama
lagi aku akan menjadi seorang istri dari lelaki yang sangat ku cintai.
Sebenarnya pihak keluarga Bian meminta tenggat waktu antara
lamaran dan pernikahan jangan terlalu lama, maksimal lima bulan. Namun
terkendala status ku yang masih dalam masa ikatan dinas pada satu lembaga
pemerintah, membuat keinginan keluarga Bian tidak mungkin dilaksanakan. Masa
ikatan dinas ku baru berakhir tujuh bulan lagi.
Menyandang status bertunangan membuat kebahagian selalu
menggelayuti hatiku. Hari-hari terasa lambat berlalu. Ingin rasanya ku putar
jarum jam, dan ku sobek-sobek lembar kalender untuk segera tiba di hari
pernikahan kami. Namun semua itu tidak mungkin. Walau aku sangat mendamba menjadi
istri Bian, tapi aku juga tidak ingin mengorbankan karir sebagai abdi negara.
Dan untuk membunuh waktu menunggu hari bahagia, disela-sela
rutinitas kantor, aku dan Bian menyempatkan diri mengurus beberapa keperluan pernikahan kami.
Ketika libur akhir pekan, kami habiskan waktu berburu gedung untuk acara resepsi. Di lain waktu, kami juga
berburu bridal dan salon, memesan undangan. Fotografer dan katering juga kami urus
sendiri. Termasuk pernak-pernik kecil seperti souvenir, seragam keluarga, dan
hal-hal remeh temeh lainnya.
Mungkin bagi orang lain, kami ini terlalu lebay. Di jaman
serba canggih seperti ini, ditambah lagi kami punya kesibukan dengan pekerjaan masing-masing, kenapa juga mau repot-repot
mengurus semua tetek bengek urusan pernikahan. Bukankah sekarang banyak Wedding
Organizer yang bisa mengurus semua kebutuhan pernikahan dan resepsi hingga ke
hal-hal yang paling detail.
Ya ... kami memang lebay. Karena dengan bertindak lebay
beginilah kami bisa membunuh waktu sepuluh bulan yang terasa begitu lama. Wedding
Organizer bukan pilihan kami, karena kami ingin mengirit budget. Disamping itu,
aku juga tidak ingin merepotkan Bapak dan Ibu. Ibuku dalam kondisi kurang
sehat. Beberapa waktu yang lalu beliau mengalami stroke. Dampak dari stroke
tersebut sekarang kemampuan phisik ibu jauh berkurang. Memang beliau masih bisa
melakukan semua aktivitas sendiri walau dengan sangat lambat dan perlahan.
Bahkan untuk berjalan pun beliau tertatih-tatih. Sementara bapak sekarang
berganti tugas dengan ibu. Kalau selama ini ibu yang melayani dan mengurus
semua kebutuhan Bapak, sekarang kebalikannya. Bapak lah yang mengurus semua
kebutuhan Ibu, dibantu Vita adikku.
Vita saat ini baru
menyelesaikan studi S1 nya. Masih dalam masa peralihan dari seorang mahasiswa
menjadi seorang sarjana yang menganggur. Untuk mengisi waktu luang nya , Vita
banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Beberapa karyanya dimuat di media
cetak dan online. Sebenarnya Vita tidak punya passion untuk menjadi wanita
karir, dia ingin menikah muda. Kemudian menjadi ibu rumah tangga sejati. Tapi
karena pacar nya saat ini sedang melanjutkan pendidikan S2 di Jepang dalam
program ikatan dinas, otomatis dia harus bersabar untuk bisa mewujudkan
keinginannya menikah muda.
Sebulan setelah pertunangan, beberapa kebutuhan untuk resepsi
nanti sudah teratasi. Gedung sudah dapat, bridal dan salon sudah oke. Catering
belum fix, fotografer juga masih menggantung. Begitu juga dengan urusan undangan,
pernak-pernik dan tetek bengek lainnya.
Dan justru di saat-saat seperti itu, aku mendapat mandat
untuk dinas luar kota. Aku tidak
dihadapkan pada pilihan, melainkan dihadapkan pada satu kewajiban. Menyadari
tanggung jawab pada negara yang selama ini sudah membiayai pendidikan ku, maka
aku harus mengesampingkan urusan pribadi. Bulan depan aku harus berangkat ke
pulau paling timur di Indonesia.
Meninggalkan tunangan terkasih untuk waktu yang lama
membuat ku bagai handpone lowbat, kurang bertenaga dan kehilangan semangat.
Namun apa pun rintangan di depan mata, aku tidak boleh patah arang. Pacaran lima tahun sanggup, menunggu jeda
waktu sepuluh bulan untuk menikah sanggup, dan kini harus terpisah selama
sebulan masa sih aku tak sanggup. Apalagi sekarang jaman canggih, walau kami
terpisah jauh namun segala jenis sarana komunikasi tersedia, hingga jarak yang
terbentang tak menjadi penghalang bagi kami untuk rutin menjalin hubungan.
Dua bulan setelah pertunangan, aku meninggalkan Bian demi
tugas negara ke ujung timur negeri ini. Bian dan Vita mengantar ku ke bandara.
Selanjutnya dari bandara aku meminta mereka menemui temanku yang membuat
souvenir pernikahan kami. Aku juga sudah memberi mandat ke Vita untuk
membantu ku menyelesaikan beberapa urusan pernak-pernik pernikahan kami.
Rutinitas kantor tak bisa menghalau rindu dendam ku pada
belahan jiwa tersayang. Setiap malam, menjelang tidur Bian menghubungi ku
melalui video call. Cara berkomunikasi seperti ini sedikit mengurangi
kehampaan ku.
Seminggu setelah kepergianku Vita menelphone. Dia minta maaf
karena mandat yang aku berikan ke dia belum terlaksana semua. Dan musibah
menimpa keluarga pacar nya. Ibu dari pacar Vita meninggal dunia, sehingga dalam
beberapa waktu dia harus berada di sana. Pacar Vita sendiri tidak bisa hadir
dalam situasi tersebut.
Setelah Vita melewati masa berkabung, dia kembali membantu ku
menyelesaikan beberapa urusan yang masih terbengkalai. Rasa syukur aku
panjatkan kehadirat Yang Kuasa, dengan keberadaan pacar nya nun jauh di negeri
seberang membuat Vita punya banyak waktu untuk membantu ku.
Sebulan berlalu, tugas luar kota ku purna sudah. Aku kembali
pulang ke tanah kelahiran. Menemui orang-orang terkasih, Bapak, Ibu, Vita, dan
pujaan hati tercinta, Bian.
Tiga bulan setelah pertunangan. Pulang ke kota ku berarti hari-hari
kembali diisi dengan aktivitas. Aku
kembali disibukkan dengan rutinitas kantor. Begitu juga Bian. Akhir pekan
menjadi satu-satunya kesempatan kami berbagi cerita.
Empat bulan setelah pertunangan, hari-hari masih penuh
kesibukan. Dalam lelah ku, semangat menyambut berakhirnya masa ikatan dinas yang
tinggal tiga bulan lagi membuat hidupku lebih bergairah. Lelah juga pupus
mengingat dalam waktu enam bulan ke depan aku resmi menjadi seorang istri.
Hubungan ku dengan Bian semakin solid. Kini hampir setiap malam dia berkunjung
ke rumah, walau hanya satu jam. Sekedar berbincang dalam obrolan ringan. Sementara
kondisi ibu semakin membaik. Mungkin semangat dan kegembiraan sedang
menyelimuti hatinya. Kegembiraan yang membuncah, karena sebentar lagi putri
sulungnya akan menikah. Bapak masih setia dan telaten mengurus ibu. Vita lebih sering
mengurung diri di kamar, seperti kebiasaannnya selama ini. Menyendiri
menyelesaikan artikel, cerpen, dan tulisan-tulisan lainnya. Karena lebih banyak
berdiam diri di depan laptop membuat tubuh Vita semakin gempal. Sesekali aku
menggoda nya, kalo tubuhnya semakin melar, ketika Arif –pacar nya- kembali dari
Jepang mungkin tidak akan mengenali nya lagi. Alih-alih marah ku goda seperti
itu, Vita hanya tersenyum kecut.
Beberapa kebutuhan mendasar dari pernikahan kami sudah terselesaikan
semua. Gedung, bridal dan salon, catering, fotografer, undangan, semua sudah
fix. Kebutuhan mendetail dan segala tetek bengek juga sudah terlaksana 80%. Dua
bulan ke depan kami akan melakukan photo pre-wed.
Aku berterimakasih pada Vita yang sudah bersusah payah
membantu ketika aku di luar kota. Aku berterima kasih pada pacar nya yang sudah
memberi ijin untuk mendampingi Bian mengurus kebutuhan pernikahan kami.
Lima bulan setelah pertunangan. Hari ini situasi di kantor cukup menyenangkan.
Ntah kenapa aku pun tak tau. Seolah-olah semua orang sedang dalam kondisi good
mood. Semua indah, semua ceria, semua bersinergi. Kegembiraan itu semakin
bertambah ketika Bian menjemput ku tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kejutan
manis di ujung senja.
Dari kantor kami tidak langsung pulang. Bian membawa ku ke
sebuah cafe di sudut kota. Walau sudah berpacaran selama lima tahun dan
bertunangan selama lima bulan, namun aku selalu kasmaran pada Bian. Terlebih
ketika kami sedang menghabiskan waktu berdua seperti ini. Menikmati secangkir coffee
latte diiringi live music dengan lagu-lagu romantis membuat ku hanyut terbawa
suasana. Aku bersandar manja di tubuhnya. Sementara dia menyambut kemanjaanku
dengan melingkarkan tangannya ke bahuku. Aku terlalu bahagia untuk menyadari
ada sebongkah beban berat bergelayut dalam raut wajah ganteng lelaki pujaan ku
itu.
Tepat pukul 20.00 kami meninggalkan cafe, meluncur pulang
menuju rumahku.
Tiba di rumah waktu sudah menunjukkan pukul 20.15. Memang
jarak cafe dan rumahku tidak terlalu jauh. Ketika Bian memarkirkan mobil nya di
tepi jalan depan rumah, kulihat pintu depan terbuka. Samar-samar karena terhalang pagar,
aku melihat Bapak sedang ngobrol dengan dua orang tamu. Bukan ... mereka bukan
tamu biasa, tapi papa mama nya Bian. Ada apa gerangan kedua orang tua Bian
mengunjungi keluargaku tanpa pemberitahuan. Bahkan Bian pun tidak berucap
sepatah kata tentang hal ini.
Sebelum membuka pintu mobil dan melangkah turun, ku lirik Bian
dengan tatapan penuh tanya,
“Ada apa?” Tanyaku singkat.
“Ayo turun.” Jawabnya tak kalah singkat.
Turun dari mobil, Bian bergegas membukakan pintu pagar
untukku. Aku melangkah perlahan dengan hati penuh tanya. Bian mengiringi
langkah-langkah ku. Memasuki gerbang, melintasi halaman, menembus pintu depan,
menyalami papa dan mama Bian. Setelah berada di ruang tamu baru aku tau
ternyata bapak tidak sendiri menyambut keluarga Bian. Di sana juga ada
ibu.
Setelah menyalami calon mertua, aku pamit masuk kamar, untuk
sekedar meletakkan tas kerja dan bebersih diri sejenak.
Sesaat kemudian aku kembali ke ruang tamu. Ketika posisi
duduk ku sudah sempurna. Papa Bian menyapa ku, berbasa-basi sejenak, kemudian
menuturkan suatu kisah yang menurut ku persis cerita-cerita kacangan di
sinetron. Dan ntah kenapa aku tak punya keinginan dan kekuatan untuk
mendengarkan cerita itu sepenuhnya. Sehingga ketika kisah tersebut belum
tuntas, diriku sudah terbuai ke alam bawah sadar.
Enam bulan setelah pertunangan. Saatnya pengambilan photo
pre-wed. Tapi sepertinya photo pre-wed
sudah tidak dibutuhkan lagi, karena pernikahan harus dipercepat. Hari ini Bian
menikah, dengan Vita sebagai pengantin wanitanya. Dan tujuh bulan lagi aku akan
memiliki seorang keponakan yang benihnya berasal dari calon suamiku.
ending yang bikin nggeblak mbak Han... apik apik...
BalasHapushehehe....makasih dah singgah ya mbak.
BalasHapusHem... paragraf terakhir bikin merinding. Bukan horor Mbak, tapi ada temen kisahnya hampir mirip. MAntap Mbak Hany :)
BalasHapusseperti sinetron ya mbak... btw makasih dah singgah mbak Wahyu.
BalasHapusits real...
BalasHapus