Semburat jingga di ufuk senja masih membekas. Lasmi, gadis
kecil yang mulai beranjak remaja itu baru saja tiba di rumah, setelah seharian
menghabiskan waktu menjajakan dagangan di terminal bis. Ditinggal ibunya
menjadi TKW di Arab, membuat gadis muda ini menjadi lebih dewasa dibanding
usianya yang baru menjelang 13 tahun.
Memiliki ibu seorang TKW di negeri
minyak, bukan berarti semua kebutuhan Lasmi terpenuhi. Bahkan bisa dibilang,
dia hidup serba kekurangan, sampai harus putus sekolah dan menjadi pedagang
asongan di terminal bis. Entah apa yang dicari sang Bunda nun jauh di tanah
seberang kalo ternyata kebutuhan mendasar anak semata wayangnya-pun tak
terpenuhi.
Sementara sang bapak lebih sering menghabiskan waktu di luar
rumah selama beberapa hari. Kemudian kembali ke rumah 2 atau 3 hari, untuk
kemudian pergi lagi. Begitu selanjutnya. Datang dan pergi dalam ketidakpastian.
Lasmi bergegas menutup jendela-jendela dan pintu rumah.
Setelahnya ia menuju dapur untuk menyalakan api di atas tungku. Tungku itu
begitu sederhana, terdiri dari 3buah batu bata yang ditumpuk di dua sisi. Lasmi
menata beberapa potong kayu bakar di antara dua tumpukan batu bata tersebut.
Menyiram sedikit minyak tanah di atasnya, kemudian menyalakan sebatang korek,
dan melempar korek yang sudah menyala itu ke atas kayu bakar. Api-pun menyala.
Namun Lasmi masih harus menjaga nyala api tersebut agar tidak segera padam.
Diambilnya sebuah panci
yang bagian luarnya hitam legam. Menghitam karena jelaga tungku.
Diisinya panci itu dengan air, kemudian dijerangkannya di atas tungku. Sambil
menunggu air mendidih, gadis muda tersebut menyiapkan cangkir yang diisi dengan
sesendok gula dan sejumput teh. Hawa dingin mulai menusuk, Lasmi ingin
menghangatkan tubuhnya dengan secangkir teh tubruk panas.
Ketika sedang asyik mengaduk gula dalam cangkir tehnya,
samar-samar ada suara ketukan di pintu depan.
“Lasmi...buka pintu nduk.” Suara bapak mengikuti ketukan
tersebut.
Deg....jantungnya berdetak kencang. Bapak pulang. Sudah lebih
dari seminggu bapak pergi. Dan sekarang bapak pulang.
Perlahan langkahnya terayun menuju pintu, membukanya,
menyalami tangan bapak, dan membiarkan lelaki paruh baya itu memasuki rumah. Adegan
ini berlangsung tanpa dialog.
Bapak langsung menuju kamarnya, sementara Lasmi kembali ke
dapur. Diambilnya satu cangkir yang lain, mengisinya dengan sesendok kopi hitam
dan sesendok gula pasir kemudian menyeduhnya dengan air panas. Secangkir kopi
hitam buat bapak.
Setelah menghangatkan tubuh dengan secangkir teh tubruk,
Lasmi meletakkan kopi bapak di atas meja makan. Kemudian bergegas masuk ke
kamarnya.
Mengistirahatkan tubuhnya di atas sehelai kasur tipis yang kusam.
Ditutupinya tubuh mungil itu dengan selembar selimut kumal. Matanya belum ingin
terpejam, bahkan sebenarnya Lasmi masih ingin membasuh diri dengan sisa air
panas yang tadi dimasaknya. Tapi keinginan itu sirna sudah. Pikirannya
bergejolak.
Dalam posisi tubuh terbaring, telinganya masih terjaga. Dia
mendengar langkah kaki bapak keluar kamar. Bisa dipastikan bapak menuju meja
makan untuk menghabiskan kopi buatannya.
Sesaat kemudian kembali terdengar langkah kaki bapak menuju
kamar. Kamar yang persis berada di sebelah kamarnya.
“Lasmi...” Suara bapak memanggil namanya dari kamar sebelah.
“Lasmi...sini nduk.” Bapak kembali memanggil namanya.
“Iya pak.” Jawab Lasmi santun.
SATU JAM KEMUDIAN
Darah segar mengalir membasahi kasur.
Lasmi berdiri mematung dengan belati di tangan kanannya. Sementara tubuh lelaki
paruh baya itu tergeletak tak bergerak.
“Maafkan Lasmi bapak. Lasmi terpaksa
melakukan ini.” Ujarnya lirih menatap
sendu mayat bapaknya.
Kemudian sambil mengelus perutnya
yang kian membuncit, jiwa letihnya berujar,
“Maafkan ibu nak, karena membuatmu
terlahir yatim.”
Diperpanjang mbak dan.ditambahi karakter dan konflik lain agar lebih mengena. Hehe.
BalasHapusMakasih sarannya mbak...ceritanya ini sekedar penggalan dulu mbak.
Hapus