Minggu, 16 April 2017

Menjelang Pernikahan (Ini Cuma Narasi)




Aku dan Bian sudah menjalani masa pacaran selama lima tahun. Masa-masa yang penuh keindahan, dan pasang surut tentunya. Bisa bertahan dalam suatu jalinan kasih untuk waktu yang cukup lama, membuat kami mantap  melangkah ke jenjang yang lebih serius. Apalagi keluarga kedua belah pihak juga sudah saling mengenal dan menyetujui hubungan kami. Dan akhirnya, seminggu yang lalu status pacaran kami meningkat menjadi bertunangan, setelah keluarga Bian melamar ku. Disepakati kalau pernikahan kami akan dilangsungkan sepuluh bulan ke depan. Akhirnya...tidak lama lagi aku akan menjadi seorang istri dari lelaki yang sangat ku cintai.

Sebenarnya pihak keluarga Bian meminta tenggat waktu antara lamaran dan pernikahan jangan terlalu lama, maksimal lima bulan. Namun terkendala status ku yang masih dalam masa ikatan dinas pada satu lembaga pemerintah, membuat keinginan keluarga Bian tidak mungkin dilaksanakan. Masa ikatan dinas ku baru berakhir tujuh bulan lagi. 

Menyandang status bertunangan membuat kebahagian selalu menggelayuti hatiku. Hari-hari terasa lambat berlalu. Ingin rasanya ku putar jarum jam, dan ku sobek-sobek lembar kalender untuk segera tiba di hari pernikahan kami. Namun semua itu tidak mungkin. Walau aku sangat mendamba menjadi istri Bian, tapi aku juga tidak ingin mengorbankan karir  sebagai abdi negara. 

Dan untuk membunuh waktu menunggu hari bahagia, disela-sela rutinitas kantor, aku dan Bian menyempatkan diri mengurus beberapa keperluan  pernikahan kami.

Ketika libur akhir pekan, kami habiskan waktu  berburu gedung  untuk acara resepsi. Di lain waktu, kami juga berburu bridal dan salon, memesan undangan.  Fotografer dan katering juga kami urus sendiri. Termasuk pernak-pernik kecil seperti souvenir, seragam keluarga, dan hal-hal remeh temeh lainnya. 

Mungkin bagi orang lain, kami ini terlalu lebay. Di jaman serba canggih seperti ini, ditambah lagi kami punya kesibukan dengan pekerjaan  masing-masing, kenapa juga mau repot-repot mengurus semua tetek bengek urusan pernikahan. Bukankah sekarang banyak Wedding Organizer yang bisa mengurus semua kebutuhan pernikahan dan resepsi hingga ke hal-hal yang paling detail.

Ya ... kami memang lebay. Karena dengan bertindak lebay beginilah kami bisa membunuh waktu sepuluh bulan yang terasa begitu lama. Wedding Organizer bukan pilihan kami, karena kami ingin mengirit budget. Disamping itu, aku juga tidak ingin merepotkan Bapak dan Ibu. Ibuku dalam kondisi kurang sehat. Beberapa waktu yang lalu beliau mengalami stroke. Dampak dari stroke tersebut sekarang kemampuan phisik ibu jauh berkurang. Memang beliau masih bisa melakukan semua aktivitas sendiri walau dengan sangat lambat dan perlahan. Bahkan untuk berjalan pun beliau tertatih-tatih. Sementara bapak sekarang berganti tugas dengan ibu. Kalau selama ini ibu yang melayani dan mengurus semua kebutuhan Bapak, sekarang kebalikannya. Bapak lah yang mengurus semua kebutuhan Ibu, dibantu Vita adikku.

 Vita saat ini baru menyelesaikan studi S1 nya. Masih dalam masa peralihan dari seorang mahasiswa menjadi seorang sarjana yang menganggur. Untuk mengisi waktu luang nya , Vita banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Beberapa karyanya dimuat di media cetak dan online. Sebenarnya Vita tidak punya passion untuk menjadi wanita karir, dia ingin menikah muda. Kemudian menjadi ibu rumah tangga sejati. Tapi karena pacar nya saat ini sedang melanjutkan pendidikan S2 di Jepang dalam program ikatan dinas, otomatis dia harus bersabar untuk bisa mewujudkan keinginannya  menikah muda.

Sebulan setelah pertunangan, beberapa kebutuhan untuk resepsi nanti sudah teratasi. Gedung sudah dapat, bridal dan salon sudah oke. Catering belum fix, fotografer juga masih menggantung. Begitu juga dengan urusan undangan, pernak-pernik dan tetek bengek lainnya.
Dan justru di saat-saat seperti itu, aku mendapat mandat untuk dinas luar kota.  Aku tidak dihadapkan pada pilihan, melainkan dihadapkan pada satu kewajiban. Menyadari tanggung jawab pada negara yang selama ini sudah membiayai pendidikan ku, maka aku harus mengesampingkan urusan pribadi. Bulan depan aku harus berangkat ke pulau paling timur di Indonesia.

Meninggalkan tunangan terkasih untuk waktu yang lama membuat ku bagai handpone lowbat, kurang bertenaga dan kehilangan semangat. Namun apa pun rintangan di depan mata, aku tidak boleh patah arang.  Pacaran lima tahun sanggup, menunggu jeda waktu sepuluh bulan untuk menikah sanggup, dan kini harus terpisah selama sebulan masa sih aku tak sanggup. Apalagi sekarang jaman canggih, walau kami terpisah jauh namun segala jenis sarana komunikasi tersedia, hingga jarak yang terbentang tak menjadi penghalang bagi kami untuk rutin menjalin hubungan.

Dua bulan setelah pertunangan, aku meninggalkan Bian demi tugas negara ke ujung timur negeri ini. Bian dan Vita mengantar ku ke bandara. Selanjutnya dari bandara aku meminta mereka menemui temanku yang membuat souvenir pernikahan kami. Aku juga sudah memberi mandat ke Vita untuk membantu ku menyelesaikan beberapa urusan pernak-pernik pernikahan kami.

Rutinitas kantor tak bisa menghalau rindu dendam ku pada belahan jiwa tersayang. Setiap malam, menjelang tidur Bian menghubungi ku melalui video call. Cara berkomunikasi seperti ini sedikit mengurangi kehampaan ku. 

Seminggu setelah kepergianku Vita menelphone. Dia minta maaf karena mandat yang aku berikan ke dia belum terlaksana semua. Dan musibah menimpa keluarga pacar nya. Ibu dari pacar Vita meninggal dunia, sehingga dalam beberapa waktu dia harus berada di sana. Pacar Vita sendiri tidak bisa hadir dalam situasi tersebut. 

Setelah Vita melewati masa berkabung, dia kembali membantu ku menyelesaikan beberapa urusan yang masih terbengkalai. Rasa syukur aku panjatkan kehadirat Yang Kuasa, dengan keberadaan pacar nya nun jauh di negeri seberang membuat Vita punya banyak waktu untuk membantu  ku.

Sebulan berlalu, tugas luar kota ku purna sudah. Aku kembali pulang ke tanah kelahiran. Menemui orang-orang terkasih, Bapak, Ibu, Vita, dan pujaan hati tercinta, Bian.
Tiga bulan setelah pertunangan. Pulang ke kota ku berarti hari-hari kembali diisi dengan aktivitas.  Aku kembali disibukkan dengan rutinitas kantor. Begitu juga Bian. Akhir pekan menjadi satu-satunya kesempatan kami berbagi cerita. 

Empat bulan setelah pertunangan, hari-hari masih penuh kesibukan. Dalam lelah ku, semangat menyambut berakhirnya masa ikatan dinas yang tinggal tiga bulan lagi membuat hidupku lebih bergairah. Lelah juga pupus mengingat dalam waktu enam bulan ke depan aku resmi menjadi seorang istri. Hubungan ku dengan Bian semakin solid. Kini hampir setiap malam dia berkunjung ke rumah, walau hanya satu jam. Sekedar berbincang dalam obrolan ringan. Sementara kondisi ibu semakin membaik. Mungkin semangat dan kegembiraan sedang menyelimuti hatinya. Kegembiraan yang membuncah, karena sebentar lagi putri sulungnya akan menikah. Bapak masih setia dan telaten mengurus ibu. Vita lebih sering mengurung diri di kamar, seperti kebiasaannnya selama ini. Menyendiri menyelesaikan artikel, cerpen, dan tulisan-tulisan lainnya. Karena lebih banyak berdiam diri di depan laptop membuat tubuh Vita semakin gempal. Sesekali aku menggoda nya, kalo tubuhnya semakin melar, ketika Arif –pacar nya- kembali dari Jepang mungkin tidak akan mengenali nya lagi. Alih-alih marah ku goda seperti itu, Vita hanya tersenyum kecut.

Beberapa kebutuhan mendasar dari pernikahan kami sudah terselesaikan semua. Gedung, bridal dan salon, catering, fotografer, undangan, semua sudah fix. Kebutuhan mendetail dan segala tetek bengek juga sudah terlaksana 80%. Dua bulan ke depan kami akan melakukan photo pre-wed.

Aku berterimakasih pada Vita yang sudah bersusah payah membantu ketika aku di luar kota. Aku berterima kasih pada pacar nya yang sudah memberi ijin untuk mendampingi Bian mengurus kebutuhan pernikahan kami.

Lima bulan setelah pertunangan.  Hari ini situasi di kantor cukup menyenangkan. Ntah kenapa aku pun tak tau. Seolah-olah semua orang sedang dalam kondisi good mood. Semua indah, semua ceria, semua bersinergi. Kegembiraan itu semakin bertambah ketika Bian menjemput ku tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kejutan manis di ujung senja.

Dari kantor kami tidak langsung pulang. Bian membawa ku ke sebuah cafe di sudut kota. Walau sudah berpacaran selama lima tahun dan bertunangan selama lima bulan, namun aku selalu kasmaran pada Bian. Terlebih ketika kami sedang menghabiskan waktu berdua seperti ini. Menikmati secangkir coffee latte diiringi live music dengan lagu-lagu romantis membuat ku hanyut terbawa suasana. Aku bersandar manja di tubuhnya. Sementara dia menyambut kemanjaanku dengan melingkarkan tangannya ke bahuku. Aku terlalu bahagia untuk menyadari ada sebongkah beban berat bergelayut dalam raut wajah ganteng lelaki pujaan ku itu.

Tepat pukul 20.00 kami meninggalkan cafe, meluncur pulang menuju rumahku.

Tiba di rumah waktu sudah menunjukkan pukul 20.15. Memang jarak cafe dan rumahku tidak terlalu jauh. Ketika Bian memarkirkan mobil nya di tepi jalan depan rumah, kulihat pintu depan  terbuka. Samar-samar karena terhalang pagar, aku melihat Bapak sedang ngobrol dengan dua orang tamu. Bukan ... mereka bukan tamu biasa, tapi papa mama nya Bian. Ada apa gerangan kedua orang tua Bian mengunjungi keluargaku tanpa pemberitahuan. Bahkan Bian pun tidak berucap sepatah kata tentang hal ini.

Sebelum membuka pintu mobil dan melangkah turun, ku lirik Bian  dengan tatapan penuh tanya,

“Ada apa?” Tanyaku singkat.

“Ayo turun.” Jawabnya tak kalah singkat.

Turun dari mobil, Bian bergegas membukakan pintu pagar untukku. Aku melangkah perlahan dengan hati penuh tanya. Bian mengiringi langkah-langkah ku. Memasuki gerbang, melintasi halaman, menembus pintu depan, menyalami papa dan mama Bian. Setelah berada di ruang tamu baru aku tau ternyata bapak tidak sendiri menyambut keluarga Bian. Di sana juga ada  ibu.

Setelah menyalami calon mertua, aku pamit masuk kamar, untuk sekedar meletakkan tas kerja dan bebersih diri sejenak.

Sesaat kemudian aku kembali ke ruang tamu. Ketika posisi duduk ku sudah sempurna. Papa Bian menyapa ku, berbasa-basi sejenak, kemudian menuturkan suatu kisah yang menurut ku persis cerita-cerita kacangan di sinetron. Dan ntah kenapa aku tak punya keinginan dan kekuatan untuk mendengarkan cerita itu sepenuhnya. Sehingga ketika kisah tersebut belum tuntas, diriku sudah terbuai ke alam bawah sadar.

Enam bulan setelah pertunangan. Saatnya pengambilan photo pre-wed. Tapi  sepertinya photo pre-wed sudah tidak dibutuhkan lagi, karena pernikahan harus dipercepat. Hari ini Bian menikah, dengan Vita sebagai pengantin wanitanya. Dan tujuh bulan lagi aku akan memiliki seorang keponakan yang benihnya berasal dari calon suamiku.





5 komentar:

  1. ending yang bikin nggeblak mbak Han... apik apik...

    BalasHapus
  2. hehehe....makasih dah singgah ya mbak.

    BalasHapus
  3. Hem... paragraf terakhir bikin merinding. Bukan horor Mbak, tapi ada temen kisahnya hampir mirip. MAntap Mbak Hany :)

    BalasHapus
  4. seperti sinetron ya mbak... btw makasih dah singgah mbak Wahyu.

    BalasHapus