Eittsss......buat para lelaki yang berstatus suami atau bapak
jangan senang dulu lho baca judul di atas, soalnya pertanyaan itu bukan buat
kalian, tapi buat dia. Iya...dia yang di
sana itu lho.
At this time, saat ini, saiki, banyak kita jumpai remaja atau
bahkan manusia-manusia dewasa yang tidak bisa menahan nafsu dan syahwatnya, pacaran
diluar batas kewajaran, hingga akhirnya hamil di luar nikah. Biasanya kalau
sudah “kebobolan” begitu, pihak keluarga (terutama keluarga si cewek) berusaha
dengan berbagai cara untuk segera menikahkan anaknya yang sudah “tek dung”
tersebut. Ada beberapa alasan kenapa
menikahkan anak yang sudah terlanjur hamil “harus secepat” mungkin dilakukan.
Alasan pertama yang terpikirkan oleh mereka, apapun harus dilakukan agar
“benih” yang sudah terlanjur jadi itu bisa lahir dalam keadaan “berbapak”.
Alasan lain, demi menutup aib di mata tetangga, keluarga besar, dan
teman-teman. Banyak orang berpendapat, dengan menikahkan pasangan yang sudah
terlanjur hamil otomatis masalahpun selesai. Aib tertutupi, calon jabang bayi
bakal lahir dengan memiliki orang tua komplit, kedua pasangan pengantin bebas
dari zina, dan rasa malupun pupus, terbang terbawa angin lalu.
Tapi....sadarkah kita, bahwa sebenarnya menikahkan pasangan
yang sudah terlanjur hamil merupakan kesalahan besar yang justru dampak dan
dosanya akan terbawa hingga tujuh turunan?? Karena sejatinya seorang wanita
yang sedang hamil karena perzinahan, HARAM hukumnya dinikahkan. Kalau ada orang
tua yang menikahkan anak gadisnya dalam keadaan hamil, berarti sama saja orang
tua tersebut menjerumuskan anaknya ke dalam lembah zina yang lebih dalam lagi.
Kenapa ?? Karena pernikahan yang dilakukan dalam keadaan hamil hukumnya tidak
sah, kalau pernikahannya tidak sah, maka hubungan badan yang terjadi selama
mereka menjalani pernikahan tersebut dianggap zina. Dan jika dari “pernikahan
tidak sah” tersebut lahir anak kedua, ketiga, dan seterusnya, mereka juga
merupakan anak zina. Walaupun mereka dilahirkan dalam satu “keluarga” yang
utuh. Mengerikan bukan?.
Anak-anak yang dilahirkan dari hasil perzinahan adalah anak
ibu, mereka tidak punya bapak –secara hukum agama-, walaupun secara biologis
bapak mereka jelas-jelas ada. Nah...yang sangat dikhawatirkan, jika perzinahan
tersebut menghasilkan anak perempuan. Ketika beranjak dewasa dan siap untuk
menikah, seorang wanita wajib memiliki wali nikah. Bapak kandung merupakan wali
nikah anak perempuan. Setelah berpuluh tahun menyimpan aib masa lalu (hamil
diluar nikah), adakah orang tua yang siap menunjukkan suatu kebenaran kepada
anaknya dengan mengatakan, “Nak, dulu waktu bapak menikah dengan ibumu, ibu
sudah hamil duluan, jadi kamu itu sebenernya anak zina, dan bapak tidak bisa
menjadi wali nikahmu, karena secara hukum bapak bukan bapakmu.” Kira-kira ada
gak yang berani bersikap sejantan itu? Yang ada malah tanpa rasa bersalah,
mereka dengan entengnya menjadi wali nikah dari anak-anak perempuan mereka.
Kalau sudah begini ?? otomatis pernikahan anak-anak perempuan mereka tidak sah,
karena dilakukan oleh “wali” yang bukan wali. Anak hasil zina harusnya
dinikahkan oleh wali hakim. Wali tidak sah, pernikahan tidak sah, jadilah edisi
keluarga zina jilid II. Anak-anak yang bakal lahir dari keluarga baru ini juga
nantinya merupakan produk zina kw II. Begitu seterusnya. DOSA TUJUH TURUNAN.
Kembali ke awal masalah. Lantas apa yang harus dilakukan
kalau sudah terlanjur hamil?? Tunggu sampai si jabang bayi lahir, taubatan
nasuha, baru menikah. Memang tetap saja ada produk zina yang sudah terlanjur
brojol, tapi setidaknya untuk anak2 selanjutnya bakal lahir dalam ikatan
keluarga yang sah.
Nah....untuk yang sudah terlanjur menikah dalam kondisi
hamil, sewajibnya melakukan nikah ulang ketika bayi sudah lahir, sudah dalam
keadaan suci, dan taubatan nasuha.
Kenyataannya sering sekali kita melihat tetangga, teman,
kenalan, atau bahkan keluarga, yang mengalami kondisi seperti cerita di atas,
tapi kita tidak punya nyali untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran tersebut.
Yang ada kita hanya diam, takut menyinggung perasaan, takut dikira mencampuri
urusan orang. Padahal kita juga punya kewajiban lho untuk berbuat amar makruf
nahi munkar terhadap orang-orang di sekitar kita. Jujur aku sendiripun mengenal
beberapa orang yang mengalami kondisi MBA (Married By Accident). Mereka
sekarang sudah berkeluarga dengan mapan secara moril dan materil, dan anaknya
juga sudah tambah, selain si sulung yang diproduksi secara tidak sengaja. Tapi
apa aku punya keberanian untuk menyampaikan kebenaran ini secara langsung pada
mereka-mereka itu?? Jawabnya.......OF COURSE
(not).
Itulah sebabnya aku menorehkan tulisan ini. Ada 3 tahap yang
bisa kita lakukan dalam mencegah kemunkaran, dengan tangan, dengan lisan, dan
dengan do’a. Kali ini aku mencoba menggunakan lisan dibantu tangan dan
mewujudkannya dalam bentuk tulisan. Semoga bagi yang membaca tulisan ini dan
mengalami kondisi yang sama dengan cerita di atas dibukakan pintu hatinya oleh
Allah untuk tidak malu mengulangi ijab kabulnya. Aamiin.
MAkasih sharingnya Mbak :)
BalasHapussami-sami mbak @Wahyu
BalasHapus